ORANG JAWA DAN DUNIA GHAIB: MEMBACA RUWATAN MURWA KALA

Oleh: Murdianto dan Jamal Mustofa *

Ruwatan Purwa Kala Sebagai Ekspresi Budaya

Dalam dunia Timur, pengalaman manusia tentang dunia selalu dilingkupi dengan kepekaan terhadap yang spiritual atau yang suci. Secara alamiah manusia selalau ingin bersentuhan dengan realitas gaib yang melingkupinya, memanfaatkannya atau sekedar mengaguminya. Di kepulauan selatan kekuatan gaib itu sering disebut dengan  mana, di Latin orang mengenal numina  (ruh-ruh dalam semak-semak yang dianggap suci), di Arab orang merasakan bahwa daratan dipenuhi oleh jin-jin.

Perasaan diliputi oleh yang gaib ini, secara alamiah, antara lain ditimbulkan oleh karena manusia mengalami dunia sebagai tempat yang menyakitkan. Manusia dituntut untuk menghadapi bencana alam, rasa sakit, kematian dan kepunahan, atau kekejaman dan ketidak adilan dari orang lain.

Kekuatan gaib yang meliputi dunia itu dirasakan berbeda-beda oleh semua orang dengan cara yang berbeda-beda pula. Terkadang manusia menginspirasikan kehadiranNya dengan kegirangan, dengan ketentraman yang mendalam, kekaguman atau perasaan hina dihadapan kekuatan misterius yang melekat dalam setiap aspek kehidupan itu. Salah satu cara pengungkapan perasaan itu adalah manusia menciptakan kisah-kisah simbolik guna mengungkapkan kekaguman mereka dan untuk menghubungkan misteri yang luas itu dengan manusia yang nyata.

Kisah-kisah simbolik atau kisah-kisah itu tidak diciptakan untuk difahami secara harfiah, tetapi merupakan upaya metaforis untuk menggambarakan realitas yang terlalau rumit dan pelik untuk bisa diekspresikan dengan cara lain. Kisah-kisah dramatis tentang kekuatan ghaib lain yang tidak tampak membantu manusia menyuarakan perasaan mereka tentang kekuatan dahsyat, yang tidak tampak namun selalu meliputi mereka. Kisah-kisah mitologi menjadi penting justru terutama karena mereka adalah mitos, yang bagi sebagian Antropolog mitos-mitos seperti itu adalah dasar pembentuk agama. Dengan maksud demikian orang–orang Mesir Kuna menciptakan mitos tentang Dewa Matahari. Orang Mesopotamia menciptakan Mitos Dewa Marduk. dan demikian pula Orang jawa kuno menciptakan mitos tentang Batara Kala.

Dalam masyarakat Jawa orang mengenal adanya, Mitos tentang Batara Kala yang menjadi pusat dan awal dari segala bentuk angkara murka. Orang Jawa mengenal sang Hyang Tunggal  sebagai kekuatan tunggal diatas segala eksistensi. Dalam rangka menjalankan kekuasaannya di muka Bumi Sang Hyang Tunggal memanifestasikan diriNya dalam bentuk sebutir telur. Telur itu kemidian pecah dan membentuk tiga bentuk dewa, Teja maya (Togog)  yang menguasai alam Jin dan lelembut, Ismaya (semar) yang merajai alam Manusia dan Manik Maya (Batara Guru) yang merajai para Dewa. Batara guru yang kemudian menurunkan Batara Kala yang menjadi bayang-bayang kekacauan dalam imajinasi orang jawa kuno.

Awalnya pada suatu senja Batara Guru sedang bercengkrama dengan Batari Uma, kekasihnya, dalam sebuah taman. Konon, angin yang bertiup sepoi-sepoi berhasil menyingkap kain yang dikenakan Batari Uma, sehingga terlihat pahanya oleh Batara Guru. Pemandangan itu menimbulkan hasrat seksual Batara Guru. Hasrat itu semakin memuncak ketika paha Batari Uma diterpa oleh cahaya kuning matahari senja. Tidak kuat menahan hasrat Batara Guru mengajak kekasihnya itu melakukan hubungan suami istri. Namun Batari Uma menolak keinginan Batara Guru untuk melakukan hubungan suami istri ditempat terbuka. Karena nafsu yang memuncak tanpa disadari sperma Batara guru keluar.

Kama Salah (sperma yang salah) dari Batara Guru itu jatuh kedalam Telaga Madireja. Di telaga itulah, sperma Batara Guru menjelma menjadi sosok mahluk yang mengerikan. Mahluk jelmaan dari sperma Batara Guru, itu senantiasa kebingungan mencari kedua orang tuanya. Sampailah dia kepada Batara Guru yang kemudian mengakuinya sebagai anak. Sebagai anak, Batara Kala menuntut haknya kepada Batara Guru, dia meminta nama, pakaian dan makanan.

Batara Guru memberikan nama Batara Kala, Jajar Kala, atau kadang juga disebut Kama Salah. Batara Guru kemudian memberikan pakaian dan menunjukkan makanan yang bisa di makan oleh Batara Kala. Makanannya berupa anak manusia yang lahir dalam prasyarat tertentu yakni anak ontang–anting (anak tunggal), kemunting (anak lahir tanpa ari-ari), uger-uger lawang (dua anak semuanya laki-laki), kembang-sepasang (dua anak semuanya perempuan), kedana-kedini (dua anak laki-laki dan perempuan), sendang kapit pancuran (Tiga anak laki-laki – perempuan – Laki-laki), pancuran kapit sendang (tiga anak; perempuan – laki-laki – perempuan), saramba (empat anak laki-laki), sarimbi (empat anak perempuan), pandawa (lima anak laki-laki semua) dan pandawi (lima anak perempuan semua). Untuk mendapatkan haknya berupa makanan Batara Guru kemudian memerintahkan Batara Kala ke muka bumi.

Selepas kepergian Batara Kala, Batara Guru merasa telah membuat kesalahan besar dengan memberi hak yang terlalu banyak kepada Batara Kala. Menyadari kesalahannya Batara Guru memanggil Batara Wisnu, anak tertuanya, untuk segera menyusul kepergian Batara Kala guna membatasi hak-haknya. Atas Instruksi Batara Guru, Batara Wisnu pergi kebumi, dia mengaku sebagai anak ontang-anting ketika bertemu dengan Batara Kala.. Ketika Batara Kala melihat anak ontang-anting itu maka dikejarlah dia.

Terjadilah kejar-mengejar antara keduanya, melewati rumpun bambu, melewati pekarangan rumah manusia dan dapur manusia. Dalam keyakinan orang jawa tempat-tempat yang dilewati kejar-kejaran dua kekuatan gaib itu menciptakan tabu tersendiri. Seperti tabu menebang bambu sembarangan, tabu membiarkan potongan bambu tanpa ruas. Tabu juga membiarkan alat-alat dapur diatas perapian tanpa digunakan untuk memasak. Orang jawa percaya jika tabu itu dilanggar akan mengganggu Batara Wisnu mengejar Batara Kala.

Kejar-kejaran antar Wisnu dan Kala terhenti untuk sementara ketika Wisnu menjelmakan diri sebagai dalang sejati. Atas izin Batara Guru dalang sejati memiliki kekuatan untuk melakukan penyucian (ruwatan) atas manusia yang menjadi hak Batara kala. Manusia yang disebutkan menjadi hak Batara Kala, akan terlepas dari nasnya jika telah diruwat dan disucikan oleh dalang sejati.

Konon, peristiwa kejar-kejaran itu terus berlangsung sampai sekarang, di alam yang gaib. Alkisah untuk bisa melakukan penyucian kepada semua manusia Wisnu menitis kepada orang-orang tertentu untuk menjadi dalang sejati dan melakukan penyucian murwa Kala. Segala bentuk ritual ruwatan sejenisnya, bisa berbentuk petik laut, larung sesaji, bersih desa, dan sejenisnya pada awalnya merujuk pada tafsiran dunia Ghaib semacam ini.

Ruwatan Murwa Kala berarti Ruwatan: penyucian, Purwa: awal, kala : bencana,  proses mensucikan manusia manusia dari sesuatu yang menjadi awal segala bencana. Ruwatan atau proses penyucian purwa kala hanya bias dilakukan oleh seorang dalang sejati sebagai titisan wisnu melalui pagelaran wayang kulit. 

Toikromo (80 th), seorang dalang pengruwatan dari desa Padas, Bungkal Ponorogo menjelaskan bahwa Ruwatan Murwa Kala harus dilakukan dengan pagelaran wayang kulit untuk memaksimalkan proses pengusiran Batara Kala. Dalam pagelaran wayang kulit itu seorang dalang (dalang sejati) membacakan mantra-mantra tertentu seperti; kala-cakra, pangleburan, panglunturan, gembala geni, sastra pedati dan srabat putih. Mantera-mantera ini tidak boleh di ajarkan, selain kepada seorang calon Dalang Sejati. Karena terbatasnya kemampuan orang untuk melakukan pagelaran wayang kulit maka Ruwatan Murwa Kala, bisa dilakukan dengan cara yang paling sederhana. Yaitu cukup dengan seorang dalang, beberapa wayang kulit dan tanpa iringan musik sama sekali. Cara pangruwatan dengan cara yang terakhir ini yang kemudian lazim disebut Ruwatan Murwa Kala.

Dengan melakukan/nanggap Ruwatan Murwa Kala orang jawa berharap bias menghindarkan diri dari segala bentuk bencana. Setelah melakukan ruwatan purwa kala orang merasa aman , tentram tanpa gangguan dari kekuatan gaib.   Sehingga bagi orang Jawa seni ruwatan Murwa Kala adalah sebuah ekspresi keberagamaan. Sebuah artikulasi kepercayaan orang jawa terhadap alam ghaib yang meliputinya.

Seni Ruwatan Murwa Kala Sebagai Tradisi Turun Temurun

Sampai dengan tulisan ini dibuat, penulis belum mendapatkan data kapan munculnya mitos Batara Kala tersebut. Namun sebagian kalangan menganggap mitos Batara kala, lahir bersamaan dengan munculnya wayang kulit. Mbah Toikromo menyangkal anggapan umum bahwa wayang kulit adalah ciptaan dari salah satu Wali Songo. Menurutnya hanya sedikit saja wayang kulit, yang tersentuh oleh unsur Islam. Bagi Mbah Toikromo, ada tiga jenis wayang kulit ditanah Jawa ini, Pertama Wayang Yogyonan (Yogjakarta ) muncul di Mataram Islam, Kedua, Wayang Semarangan (Semarang) muncul dipesisir utara Pulau Jawa zaman Wali songo. Dan Ketiga, Wayang Kediren (Kediri) muncul zaman kerajaan Daha di Kediri. Menurutnya wayang Kediren ini yang otentik yang benar-benar mencerminkan keyakinan orang Jawa kepada yang Ghaib. Wayang benar-benar merupakan ekspresi teologi orang Jawa. Dan dalam wayang Kediren inilah, terdapat Ruwatan Purwa kala.

Dalam keyakinan Mbah Toikromo dan orang Jawa pada zaman dahulu, menganggap semua kejadian yang di lukiskan dalam kisah wayang kulit adalah kejadian nyata. Termasuk mitos Batara Kala. Dalam identifikasi Mbah Toikromo ada tiga zaman didunia ini, pertama zaman Purwa (awal) yaitu zamannya para dewa, kedua zaman Madya (Pertengahan) yaitu zaman para tokoh pewayangan yang dalam silsilahnya adalah keturunan para dewa. Dan ketiga zaman Wasana, yaitu zaman kita sekarang ini yang dimulai dari Zaman berdirinya Kerajaan Dhaha, Menurutnya Raja Dhaha pertama adalah anak dari Parikesit putra Arjuna (Janaka), salah satu Pandawa. Menurutnya pula tradisi Ruwatan Purwa Kala adalah warisan turun temurun sejak zaman purwa (zamannya para dewa)

Ruwatan Purwa Kala Versus Jemblung Katong Wecana

Kini di Ponorogo orang menyebut ritual Ruwatan Purwa Kala sebagai “Jemblungan”. Sebenarnya Ruwatan Purwa kala bisa jadi bukan Jemblungan. Munculnya label “Jemblung” bagi tradisi Purwa Kala adalah sebuah akibat dari pertarungan budaya, imbas dari kekalahan perebutan makna. Jemblungan adalah kesenian sendiri yang ada di Ponorogo yang sama sekali berbeda dengan Purwa Kala.

Jemblungan, atau lengkapnya Jemblung Katong Wecana, adalah kesenian asli Ponorogo yang lahir bersamaan dengan lahirnya Ponorogo, menurt M Yusuf (seorang dalang jemblung Katong Wecana, dan keturunan ke-14 dari Batara Katong). Menurutnya, Jemblungan adalah kesenian yang diciptakan oleh Batoro Katong sebagai upaya Islamisasi Ponorogo. Seni Jemblung Katong wecana adalah bentuk akulturasi Islam dengan Budaya Ponorogo (Ridlo Kurnianto, 2003).

Jemblungan adalah sebuah bentuk seni bertutur (mirip wayang kulit tetapi tidak memakai media wayang) dengan iringan alat yang dibuat dari kulit hewan, seperti tambur yang biasa disebut terbang. Dalam seni ini orang/dalang menuturkan cerita dari balik layar. Kisah-kisah yang diceritakan adalah cerita para nabi, kisah Para wali, atau cerita yang di adopsi dari Timur Tengan seperti, cerita-cerita dalam 1001 malam. Atau kadang juga cerita buatan sang dalang sebagai penyampai dakwah Islam.

Kata Jemblungan berasal dari kata “blung, blung”  bunyi yang dihasilkan oleh alat musik terbang. Atau bisa juga, menurut mbah Yusuf berasal dari kata “Jembleng”, kata bahasa Jawa berarti, kondisi seseorang yang diam terpaku mendengar sesuatu. Hal itu didasarkan pada proses Pertunjukan Jemblungan yang menampilkan suara dibalik layar.

Sebelum kedatangan Islam di Ponorogo, masyarakat Ponorogo sudah memiliki tradisi keagamaan yang kuat. Salah satunya tercermin dalam tradisi Ruwatan Purwa Kala. Menurut mbah Yusuf untuk melakukan dakwah Islam, batara katong menciptakan seni Jemblungan. Untuk mengkampanyekan kesenian itu Bataro Katong Menunjuk Kyai Dono Suto untuk menjadi dalang sejati. Sehingga Jemblungan dimaksudkan pula oleh Batara Katong sebagai pengganti tradisi Ruwatan Purwa kala (atau dalam bahasa Mbah Yusuf “Mengusir Demit”). Menurutnya Pula Seni Jemblungan Memang di ciptakan oleh Batara Katong, untuk menggeser tradisi dan budaya Jawa (Hindu-Budha dan tradisi Pra Islam) dengan cara yang paling lunak dan tidak mencolok.

Paska kekalahan Ki Ageng Kutu[i] oleh Batara Katong, seni Jemblungan semakin populer di Ponorogo melalui Kyai Dono-Suto. Akan tetapi banyak pula yang tidak bisa menerima pengganti Ruwatan Purwa Kala itu, terutama di daerah Ponorogo Bagian Selatan. Demikian sebagaimana di jelaskan Mbah Yusuf.

Kondisi keterdesakan tradisi Ruwatan Purwa kala itu dirasakan oleh para Dalang Murwa kala sampai sekarang. Tradisi Murwa Kala hampir tidak dikenal orang Ponorogo, sampai suatu ketika RRI Madiun menyiarkan Ruwatan Murwa Kala di tahun 80-an. Meskipun masih ada, (walaupun sedikit) yang melakukan Ruwatan Murwa Kala, namun orang menyebutnya sebagai Jemblungan. Mbah Toikromo sendiri sempat mengingat cerita gurunya, Dalang Sadi, tentang pertarungan itu.[]

* Murdianto, Peneliti Dosen Institut Agama Islam Sunan Giri (INSURI) Ponorogo

* Jamal  Mustofa, Peneliti Institute for Religion and Cultural Studies Ponorogo

Referensi:

Ridho Kurnianto, Sinkretisme Budaya Jawa-Islam: Jemblung Katong Wecono, tidak di terbitkan. Ponorogo: P3M UNMUH Ponorogo, 2003

Wawancara dengan Mbah Toikromo (dalang Ruwatan Purwo Kolo)

Wawancara dengan Mbah Yusuf (dalang Jemblung Katong Wecono)

 

[i] Ki Ageng Kutu, adalah seorang punggawa Majapahit yang menyingkir dari Majapahit, sebagai protes atas tindakan Raja Brawijaya V yang menikah dengan Putri Campa yang berakhir dengan masuknya Islam di tanah majapahit.

Leave a comment